Judul Buku
|
: TRADISI LISAN
ORANG MANGGARAI
Membidik Persaudaraan Dalam Bingkai Sastra
|
Penulis
|
: Kanisius Teobaldus Deki, M.Th
|
Penerbit
|
: Parrhesia Institute Jakarta
|
Tahun
ISBN
|
: 2011
: 978-979-19290-5-0
|
Halaman
|
: 226
|
Peninjau
|
: Efi Pantu
|
Dalam banyak literatur, istilah tradisi lisan sering
disepadankan dengan “folklor” (oral and customary tradition), seperti
yang digunakan di Amerika Serikat oleh Jan Harold Brunvand. Tentang Folklor,
Arche Taylor mendefinisikannya sebagai bahan-bahan yang diwariskan oleh
tradisi, baik melalui kata-kata dari mulut atau oleh adat istiadat dari
praktek. Pada tahun 1948, dengan tegas Taylor mengatakan: “Folklor adalah bahan
(material) yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata yang keluar
dari mulut, atau melalui adat kebiasaan maupun praktek”.
Penggunaan tradisi lisan sebagai seni dalam ilmu-ilmu
sosial menjadi hal biasa setelah terbitnya buku Jan Vansina: De la Tradition
Orale: esai de methode historique (dalam bahasa Perancis 1961, dalam bahasa
Inggris 1973). Di sini Vansina menampilkan sarana-sarana sistematik untuk
mengidentifikasi, mengumpulkan dan menafsirkan tradisi-tradisi lisan dalam
rangka menemukan aspek-aspek masa lampau, terutama di tempat yang tidak
memiliki dokumentasinya secara tertulis. Vansina mendefinisikan tradisi lisan
sebagai “kesaksian verbal yang ditransimisikan dari satu generasi ke generasi
lainnya atau ke generasi masa depan”.
Sebelum Vansina membuat uraian sistematis dengan menampilkan
contoh-contoh dari hasil penelitiannya di Ruanda-Urundi dan Kuba di Kongo,
Afrika, tradisi lisan sudah berkembang secara universal pada berbagai
kebudayaan di seluruh dunia. Tradisi lisan merupakan cikal-bakal tradisi
tulisan yang berkembang sangat kuat pada zaman modern (dan kontemporer) hingga
saat ini.
Istilah tradisi berasal dari kata Latin traditio
(kata kerja tradere) yang berarti tradisi atau penyerahan (handing
down). Francis Bacon, seorang Filsuf Ilmu Pengetahuan, menggunakan kata
yang sama untuk mendefinisikan pernyataan atau pengiriman pengetahuan. Sedangkan
menurut Lorens Bagus, kata “tradisi” (bahasa Inggris: tradition)
memiliki perluasan makna dalam berbagai bidang. Dalam bidang sejarah, tradisi
berarti adat istiadat, ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial, pandangan-pandangan,
nilai-nilai, aturan-aturan, perilaku-perilaku yang diwariskan dari generasi ke
generasi. Ia merupakan unsur warisan sosio-kultural yang dilestarikan dalam
masyarakat atau dalam kelompok sosial masyarakat dalam kurun waktu yang
panjang. Tradisi bersifat progresif kalau dihubungkan dengan perkembangan
kreatif kebudayaan tetapi tradisi bersifat reaksioner kalau ia berkaitan dengan
sisa-sisa yang sudah usang dari unsur-unsur budaya masa lampau. Dalam ranah
ilmu, tradisi berarti kontinuitas pengetahuan dan metode-metode penelitian.
Sedangkan dalam dunia seni, tradisi berarti kesinambungan gaya dan
keterampilan.
Istilah “lisan” (oral) dapat diartikan sebagai
kata-kata yang dituturkan, diucapkan. Dengan demikian, kata “lisan” dalam
kaitan dengan Tradisi Lisan (Oral
Tradition) berarti tradisi yang ditransmisikan secara lisandalam berbagai
bentuknya seperti ujaran rakyat (folk speech) yang diperinci lagi ke
dalam bentuk dialek, julukan (naming), ungkapan-ungkapan dan kalimat
tradisional (traditional pharases and sentences) yang dapat digolongkan
dalam kelompok peribahasa (proverb and proverbial saying), sedangkan
pertanyaan tradisional termasuk ke dalam teka-teki rakyat (folk riddles).
Selain itu ada sanjak rakyat (folk rhymes), syair rakyat (folk poetry),
dan bermacam-macam cerita rakyat (folk narratives) seperti mite, legenda
dan dongeng. Bentuk terakhir adalah nyanyian rakyat (folk song) dan
balada rakyat (folk ballads) dengan musiknya.
Di antara banyak bahasa dan dialek di Indonesia, hanya
delapan yang memiliki tradisi tertulis. Pada zaman sekarang di beberapa wilayah
tertentu di Indonesia keberaksaraan masih merupakan hal yang baru. Pemeliharaan
dan penyampaian adat kebiasaan, sejarah, pandangan hidup, agama, kedudukan
sosial dan bahasa sangat mengandalkan kata lisan. Teks kisahan dapat berbentuk
macam-macam: nyanyian, syair, prosa, lirik atau syair bebas. Cerita-cerita
tersebut mengajarkan para pendengarnya memecahkan masalah atau teki-teki,
menyampaikan tradisi, menyokong jati diri kebudayaan, dongeng khayalan, dan tak
kalah pentingnya, menghibur.
Bagi penduduk di Nusa Tenggara, keadaan keberanekaragaman
memberikan sumbangan terhadap kesusastraan pribumi yang hidup dan didasarkan
pada susunan lisan. Pendongeng, ahli
silsilah, pencerita suku, dan penggumam upacara keagamaan sangat penting bagi
kelestarian tradisi setempat. Tradisi setempat mulanya terbentuk oleh
keprihatinan kebudayaan dan upacara, kemudian berlangkah lebih jauh memasuki
seluruh aspek kehidupan.
Pada uraian dan analisa-analisa yang akan berkembang
dalam tulisan ini, tanpa menampik hasil penelitian dari perspektif lain,
tilikan penulis lebih berorientasi pada tradisi lisan Orang Manggarai yang
dieksplisitasi dalam berbagai bentuk sastranya. Dalam pembagian yang umum, menurut
isinya kesusastraan dibagi menjadi empat bagian yakni epik, lirik, didaktik dan
dramatik. Sementara menurut bentuknya
ada prosa, puisi dan prosa liris. Epik adalah karangan yang bersifat
obyektif. Artinya, pengarang melukiskan apa yang terjadi sesungguhnya seperti
dalam kenyataan tanpa memasukan unsur emosi dan imajinasi penulisnya.
Sebaliknya lirik adalah semua jenis karangan yang bersifat subyektif. Dalam
karangan jenis ini pengarang secara intens melukiskan imajinasi dan ilham
pribadinya. Bahasa sastra selalu terkait dengan emosi [perasaan] dan pikiran,
fantasi dan lukisan angan-angan, penghayatan batin dan lahir, peristiwa dan
khayalan dengan bentuk bahasa yang istimewa.
Secara khusus dalam tulisan ini, penulis memusatkan
perhatian pada dua bentuk utama sastra yang sudah menjadi lazim yakni Prosa
naratif yang terungkap dalam pelbagai kisah rakyat [tombo nunduk, tombo
turuk] dan Puisi lirik yang dieskpresikan melalui peribahasa, tamsil-tamsil
[go’et], syair-syair doa [torok] dan syair-syair lagu-lagu rakyat
[dere, nenggo]. Sejarah lisan [Oral History] maupun tradisi lisan
dalam tradisi budaya Orang Manggarai memang merupakan bagian “keutamaan adak”
[disebut pecing adak: tahu adat, kenal hukum], sebuah perilaku budaya
yang harus dilakoni setiap warga generasi sebagai jati diri sejarah tanah air
dan keturunannya.
Tombo Nunduk
dapat dipahami sebagai aktivitas dalam meneruskan sejarah keberadaan sebuah
keturunan suku [klan yang disebut wa’u] yang dikisahkan terus menerus
secara lisan kepada setiap generasi keturunan itu. Sedangkan Tombo Turuk
dimengerti sebagai cerita-cerita yang memiliki berbagai makna kehidupan:
sosial, spiritual, ekonomis, humor, pendidikan nilai, dll. Kedua jenis prosa
ini dikisahkan dalam bentuk lisan oleh generasi tua kepada anak-anaknya umumnya
demi alasan pedagogis dan penerusan sejarah keberadaan diri dan masyarakat. Go’et-go’et
adalah kata-kata bijak yang diramu sebagai syair-syair bertuah. Bentuknya tidak
selalu sama tetapi bervariasi namun memiliki tujuan yang sama yakni untuk
mendidik, mengeritik dan juga menghibur. Torok adalah doa-doa yang biasa
didaraskan di berbagai tempat, misalnya di lodok [titik pusat dari
perkebunan komunal yang disebut lingko], di compang [batu-batu
yang disusun menyerupai altar persembahan], di Mbaru Gendang [disebut
juga Mbaru Tembong, rumah adat], dan tempat-tempat lain pada saat
upacara-upacara adat dilangsungkan. Syair-syair dere adalah barisan kata
bermakna yang membentuk sebuah lagu. Syair-syair dere ini memiliki
fungsi yang sama seperti prosa-prosa: menyampaikan usul-asal, mengisahkan
kembali sebuah peristiwa, mengajukan sebuah pertanyaan, mengeritik sistem
sosial yang ada, menghibur, dsb.
Di tengah usaha mencari jawaban atas persoalan kekerasan
yang tengah melanda wilayah Manggarai, sempat timbul sebuah kesangsian metodis
[dubium methodicum] di dalam diri penulis yang berakhir pada pada
pertanyaan: “Masih relevankah membuat analisa atas tradisi lisan pada zaman di
mana tradisi itu sudah banyak tertinggal bila dibandingkan dengan tradisi
tulisan dan audio-visual yang sulit diimbangi?” Pertanyaan ini sungguh
menggelitik untuk melihat kembali urgensitas sebuah analisa yang bertitik
pangkal pada tradisi lisan, khususnya bentuk sastra yang dimiliki oleh Orang
Manggarai. Di Indonesia pada masa sekarang, tradisi lisan harus bersaing dengan
cetakan, radio, televisi dan film. Sementara itu menjadi kenyataan yang umum,
pendidikan massal yang dilakukan dalam bahasa Indonesia, bahasa resmi negara,
cenderung menekankan yang dominan, kebudayaan “sastra” dengan mengorbankan yang
“non sastra”. Meneruskan pengetahuan yang terwujud dalam teks lisan merupakan
tantangan bagi kebudayaan Indonesia yang sedang berubah sekarang.
Untuk memberikan jawaban penulis berasumsi bahwa meskipun
tradisi tertulis dan budaya audio-visual kian menjamur, namun perkembangan itu
belum merata. Masih banyak wilayah yang belum dirambah oleh teknologi canggih
seperti itu. Dan yang lebih penting, tradisi lisan adalah bagian dari kehidupan
manusia. Ia bahkan merupakan bentuk primer dari komunikasi manusia. Kemajuan,
bagaimanapun pesatnya, tak akan menghapus tradisi lisan sebagai bagian dari
kebudayaan. Jika kenyataan ini diterima, maka penjelasan yang adekuat tentang
relasi antara sastra dan budaya mesti dibuat sehingga analisa apapun yang akan
berkembang dalam tulisan ini tidak keluar dari bingkai itu.
Memasuki babak
akhir abad yang lalu – apa yang disebut dengan eurosentrisme ilmu sosial – langsung dipandang sebagai bahaya terbesar keberlangsungan – tidak
saja ilmu sosial Asia melainkan masyarakat Asia itu sendiri. Kerangka pikir
ilmu sosial Asia terjebak dalam kebutuhan ilmuwan sosial Amerika dan Eropa –
yang dikenal sebagai pengendali sirkulasi ilmu pengetahuan dan proyek-proyek
riset terpenting dalam lapangan ilmu sosial.
Banyak
riset ilmu sosial dilakukan dengan pesan kebutuhan ekonomi kapitalistik
negara-negara maju. Temuan-temuan paling mendasar yng berhubungan dengan inti
kehidupan masyarakat lokal di Asia menjadi masukan primer untuk merancang teknik pengendalian politik
negara-negara pemilik modal pengetahuan dan ekonomi. Kemandirian ilmuwan sosial
dipertanyakan hingga pada titik paling mencemaskan – terutama berkaitan dengan
nilai-nilai keilmuan-akademik mereka sendiri.
Hanya
segelintir ilmuwan Asia yang mulai menggagas karakter Asia dalam proyek-proyek riset unggulan ilmu sosial. Hal
pertama yang dilakukan adalah membangun jarak kritis atas dominasi dan hegemoni
keilmuan euro-amerika yang sedemikian
kuat menancap kesadaran dan framework diskusi-diskusi
ilmuwan dan mahasiswa ilmu sosial Asia. Hal kedua yang segera dibangun adalah
menyusun metode dan kerangka kerja ilmu sosial
Syed
Farid Alatas, pengajar sosiologi di Universitas Nasional Singapura, menyebutkan
beberapa hal krusial yang berkaitan dengan penyebutan kenyataan eurosentrisme ilmu sosial di Asia. Pertama, ada bias Eurosentrisme sehingga
ide, model, pilihan masalah, metodologi, teknik bahkan prioritas riset cenderung hanya berangkat dari
karya-karya Amerika, Inggris, Prancis dan Jerman. Kedua, ada pengabaian umum terhadap tradisi filsafat dan sastra
lokal. Bahkan keberadaan kebudayaan lokal. Memang ada telaahan yang lebih sistematis
terhadap sastra dan tradisi lokal namun keberadaan kebudayaan lokal tidak
dipandang dan dipelakukan sebagai sumber konsep ilmu sosial.
Ketiga, kreativitas yang belum teruji
dalam diri ilmuwan sosial Asia untuk mendobrak dominasi metodik ilmu sosial yang
dikembangkan di Euro-Amerika lalu diujicoba di sejumlah universitas dan
pusat studi Asia. Terasa kekurangan ide-ide orisinal yang menumbuhkan konsep
baru, perspektif teoritis baru, pemikiran baru dan inoveasi dalam metode riset.
Keempat, peniruan (mimesis) ada pada proses pengadopsian yang tidak kritis terhadap
model ilmu sosial Barat. Ini diperparah dengan menguatnya diskursus Eropa mengenai masyarakat non-Barat yang cenderung
mengarah pada konstruksi esensialis, yang mengonfirmasi
bahwa dirinya adalah kebailkan dari Eropa-Amerika: bar-bar, terbelakang,
dan irasional.
Kelima, Ketiadaan sudut pandang
minoritas. Anggapan ini berangkat dari kenyataan bahwa dalam berlimpahnya
materi yang dikumpulkan para etnografer Asia, tidak ada tradisi untuk mencatat ‘suara-suara’
minoritas bukan hanya dalam arti
minositas etnik, tetapi juga bersentuhan dengan semua kelompok yang tak
beruntung dan terpinggirkan. Di level ini, ilmu sosial seolah menyisir pinggir
tepian kawah kehancuran – terdominasi perspektif elitik-imperialistik.
Keenam, persekongkolan dengan negara.
Peran dan fungsi yang dimainkan dan dimunculkan disiplin-disiplin ilmu sosial
seperti sosiologi, antropologi, geografi pada masa kolonial masih terjadi
hingga sekarang ini. Sebagai misal, antropologi dipakai negara untuk
memromosikan integrasi, kontrol atas kebijakan negara, dan penciptaan sebuah
budaya nasional.
Keseluruhan
persoalan pelik ini memiliki posisi yang sedemikian kuat dalam kerangka
imperialisme akademis dan intelektual. Ilmu sosial Asia terbebani peran subordinatif terhadap keberadaan ilmu
sosial euro-amerika yang memiliki
segala hal yang dibutuhkan untuk menyambung pengaruh mereka ke level yang
semakin dahsyat.
Berangkat
dari pengalaman akademik mencekam semacam ini, Alatas dan sejumlah ilmuwan
sosial Asia terutama India, Filipina dan Singapura – bergerak menuju titik konsolidasi yang semakin kuat. Hanya
keteguhan hati untuk masuk ke dalam ruang gelap sejarah ilmu sosial Asia yang
bisa meluputkan masyarakat lokal di kawasan ini memiliki sejarah mereka
sendiri. Bukan sejarah yang digambarkan penguasa
ilmu sosial dunia Barat yang sudah maju.
Diskursus
alternatif tidak hanya berhenti pada pengajuan metode dan teknik keilmuan yang
lain daripada yang sudah danggap sebagai kebenaran baku. Harus ada keberanian akademik menebas
batasan-batasan teoritik dan konseptual yang selama ini hanya menghamba pada
kerangka keilmuan euro-amerika. Mesti
ada ketabahan
intelektual menemukan sumber-sumber konsep yang menyebar di ranah-ranah
kebudayaan lokal (setempat). Usaha menyandingkan kedaulatan ilmu sosial ‘Asia’ pada akhirnya membutuhkan dedikasi
personal ilmuwan sosial Asia.
Menengok sebentar
ke dalam situasi kontemporer kebudayaan lokal, kita dengan cepat menemukan
bahwa ketegangan-ketegangan sosial, politik, ekonomi sedang membungkus
sirkulasi kehidupan komunitas. Keadaan yang ada begitu menegangkan. Menimbulkan
kegalauan emosional di ruang publik (sosial).
Tanpa
kehati-hatian multi-aspek kehidupan sosial maka komunitas lokal akan mengalami
keterpecahan yang mencelakakan. Keterhubungan mereka dengan saluran
kebijaksanaan lokal yang terkandung dalam sastra, tradisi, kebudayaan lokal
sudah lama mengalami kemacetan akibat dominasi konstruksi pengetahuan yang
dianggap sebagai kebenaran – padahal melancarkan pengabaian sistematik terhadap
elemen-elemen kunci kebudayaan lokal.
Pada
garis kesadaran ini maka yang dibutuhkan bukan saja diskursus alternatif
merancang metode ilmu sosial yang menyokong kelokalan
melainkan gerakan bersama yang lebih progresif untuk membedah, menganalisis
dan meletakkan kehidupan lokal di atas wadah kebijaksanaan sendiri. Ini akan
terjadi dalam tindakan kolektif akademik yang
hrus segera dirintis. Masyarakat lokal harus berani minum dari mata air kebudayaan mereka sendiri.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar