Senin, 16 Desember 2013

RESENSI BUKU




Judul Buku
: TRADISI LISAN ORANG MANGGARAI
  Membidik   Persaudaraan Dalam Bingkai Sastra
Penulis
: Kanisius Teobaldus Deki, M.Th
Penerbit
: Parrhesia Institute Jakarta
Tahun
ISBN
: 2011
: 978-979-19290-5-0
Halaman
: 226
Peninjau
: Efi Pantu


Dalam banyak literatur, istilah tradisi lisan sering disepadankan dengan “folklor” (oral and customary tradition), seperti yang digunakan di Amerika Serikat oleh Jan Harold Brunvand. Tentang Folklor, Arche Taylor mendefinisikannya sebagai bahan-bahan yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata dari mulut atau oleh adat istiadat dari praktek. Pada tahun 1948, dengan tegas Taylor mengatakan: “Folklor adalah bahan (material) yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata yang keluar dari mulut, atau melalui adat kebiasaan maupun praktek”.
Penggunaan tradisi lisan sebagai seni dalam ilmu-ilmu sosial menjadi hal biasa setelah terbitnya buku Jan Vansina: De la Tradition Orale: esai de methode historique (dalam bahasa Perancis 1961, dalam bahasa Inggris 1973). Di sini Vansina menampilkan sarana-sarana sistematik untuk mengidentifikasi, mengumpulkan dan menafsirkan tradisi-tradisi lisan dalam rangka menemukan aspek-aspek masa lampau, terutama di tempat yang tidak memiliki dokumentasinya secara tertulis. Vansina mendefinisikan tradisi lisan sebagai “kesaksian verbal yang ditransimisikan dari satu generasi ke generasi lainnya atau ke generasi masa depan”.  Sebelum Vansina membuat uraian sistematis dengan menampilkan contoh-contoh dari hasil penelitiannya di Ruanda-Urundi dan Kuba di Kongo, Afrika, tradisi lisan sudah berkembang secara universal pada berbagai kebudayaan di seluruh dunia. Tradisi lisan merupakan cikal-bakal tradisi tulisan yang berkembang sangat kuat pada zaman modern (dan kontemporer) hingga saat ini.
Istilah tradisi berasal dari kata Latin traditio (kata kerja tradere) yang berarti tradisi atau penyerahan (handing down). Francis Bacon, seorang Filsuf Ilmu Pengetahuan, menggunakan kata yang sama untuk mendefinisikan pernyataan atau pengiriman pengetahuan. Sedangkan menurut Lorens Bagus, kata “tradisi” (bahasa Inggris: tradition) memiliki perluasan makna dalam berbagai bidang. Dalam bidang sejarah, tradisi berarti adat istiadat, ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial, pandangan-pandangan, nilai-nilai, aturan-aturan, perilaku-perilaku yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia merupakan unsur warisan sosio-kultural yang dilestarikan dalam masyarakat atau dalam kelompok sosial masyarakat dalam kurun waktu yang panjang. Tradisi bersifat progresif kalau dihubungkan dengan perkembangan kreatif kebudayaan tetapi tradisi bersifat reaksioner kalau ia berkaitan dengan sisa-sisa yang sudah usang dari unsur-unsur budaya masa lampau. Dalam ranah ilmu, tradisi berarti kontinuitas pengetahuan dan metode-metode penelitian. Sedangkan dalam dunia seni, tradisi berarti kesinambungan gaya dan keterampilan.
Istilah “lisan” (oral) dapat diartikan sebagai kata-kata yang dituturkan, diucapkan. Dengan demikian, kata “lisan” dalam kaitan dengan  Tradisi Lisan (Oral Tradition) berarti tradisi yang ditransmisikan secara lisandalam berbagai bentuknya seperti ujaran rakyat (folk speech) yang diperinci lagi ke dalam bentuk dialek, julukan (naming), ungkapan-ungkapan dan kalimat tradisional (traditional pharases and sentences) yang dapat digolongkan dalam kelompok peribahasa (proverb and proverbial saying), sedangkan pertanyaan tradisional termasuk ke dalam teka-teki rakyat (folk riddles). Selain itu ada sanjak rakyat (folk rhymes), syair rakyat (folk poetry), dan bermacam-macam cerita rakyat (folk narratives) seperti mite, legenda dan dongeng. Bentuk terakhir adalah nyanyian rakyat (folk song) dan balada rakyat (folk ballads) dengan musiknya.
Di antara banyak bahasa dan dialek di Indonesia, hanya delapan yang memiliki tradisi tertulis. Pada zaman sekarang di beberapa wilayah tertentu di Indonesia keberaksaraan masih merupakan hal yang baru. Pemeliharaan dan penyampaian adat kebiasaan, sejarah, pandangan hidup, agama, kedudukan sosial dan bahasa sangat mengandalkan kata lisan. Teks kisahan dapat berbentuk macam-macam: nyanyian, syair, prosa, lirik atau syair bebas. Cerita-cerita tersebut mengajarkan para pendengarnya memecahkan masalah atau teki-teki, menyampaikan tradisi, menyokong jati diri kebudayaan, dongeng khayalan, dan tak kalah pentingnya, menghibur.
Bagi penduduk di Nusa Tenggara, keadaan keberanekaragaman memberikan sumbangan terhadap kesusastraan pribumi yang hidup dan didasarkan pada susunan lisan. Pendongeng, ahli silsilah, pencerita suku, dan penggumam upacara keagamaan sangat penting bagi kelestarian tradisi setempat. Tradisi setempat mulanya terbentuk oleh keprihatinan kebudayaan dan upacara, kemudian berlangkah lebih jauh memasuki seluruh aspek kehidupan.

Pada uraian dan analisa-analisa yang akan berkembang dalam tulisan ini, tanpa menampik hasil penelitian dari perspektif lain, tilikan penulis lebih berorientasi pada tradisi lisan Orang Manggarai yang dieksplisitasi dalam berbagai bentuk sastranya. Dalam pembagian yang umum, menurut isinya kesusastraan dibagi menjadi empat bagian yakni epik, lirik, didaktik dan dramatik. Sementara menurut bentuknya  ada prosa, puisi dan prosa liris. Epik adalah karangan yang bersifat obyektif. Artinya, pengarang melukiskan apa yang terjadi sesungguhnya seperti dalam kenyataan tanpa memasukan unsur emosi dan imajinasi penulisnya. Sebaliknya lirik adalah semua jenis karangan yang bersifat subyektif. Dalam karangan jenis ini pengarang secara intens melukiskan imajinasi dan ilham pribadinya. Bahasa sastra selalu terkait dengan emosi [perasaan] dan pikiran, fantasi dan lukisan angan-angan, penghayatan batin dan lahir, peristiwa dan khayalan dengan bentuk bahasa yang istimewa.
Secara khusus dalam tulisan ini, penulis memusatkan perhatian pada dua bentuk utama sastra yang sudah menjadi lazim yakni Prosa naratif yang terungkap dalam pelbagai kisah rakyat [tombo nunduk, tombo turuk] dan Puisi lirik yang dieskpresikan melalui peribahasa, tamsil-tamsil [go’et], syair-syair doa [torok] dan syair-syair lagu-lagu rakyat [dere, nenggo]. Sejarah lisan [Oral History] maupun tradisi lisan dalam tradisi budaya Orang Manggarai memang merupakan bagian “keutamaan adak” [disebut pecing adak: tahu adat, kenal hukum], sebuah perilaku budaya yang harus dilakoni setiap warga generasi sebagai jati diri sejarah tanah air dan keturunannya.
Tombo Nunduk dapat dipahami sebagai aktivitas dalam meneruskan sejarah keberadaan sebuah keturunan suku [klan yang disebut wa’u] yang dikisahkan terus menerus secara lisan kepada setiap generasi keturunan itu. Sedangkan Tombo Turuk dimengerti sebagai cerita-cerita yang memiliki berbagai makna kehidupan: sosial, spiritual, ekonomis, humor, pendidikan nilai, dll. Kedua jenis prosa ini dikisahkan dalam bentuk lisan oleh generasi tua kepada anak-anaknya umumnya demi alasan pedagogis dan penerusan sejarah keberadaan diri dan masyarakat. Go’et-go’et adalah kata-kata bijak yang diramu sebagai syair-syair bertuah. Bentuknya tidak selalu sama tetapi bervariasi namun memiliki tujuan yang sama yakni untuk mendidik, mengeritik dan juga menghibur. Torok adalah doa-doa yang biasa didaraskan di berbagai tempat, misalnya di lodok [titik pusat dari perkebunan komunal yang disebut lingko], di compang [batu-batu yang disusun menyerupai altar persembahan], di Mbaru Gendang [disebut juga Mbaru Tembong, rumah adat], dan tempat-tempat lain pada saat upacara-upacara adat dilangsungkan. Syair-syair dere adalah barisan kata bermakna yang membentuk sebuah lagu. Syair-syair dere ini memiliki fungsi yang sama seperti prosa-prosa: menyampaikan usul-asal, mengisahkan kembali sebuah peristiwa, mengajukan sebuah pertanyaan, mengeritik sistem sosial yang ada, menghibur, dsb.
Di tengah usaha mencari jawaban atas persoalan kekerasan yang tengah melanda wilayah Manggarai, sempat timbul sebuah kesangsian metodis [dubium methodicum] di dalam diri penulis yang berakhir pada pada pertanyaan: “Masih relevankah membuat analisa atas tradisi lisan pada zaman di mana tradisi itu sudah banyak tertinggal bila dibandingkan dengan tradisi tulisan dan audio-visual yang sulit diimbangi?” Pertanyaan ini sungguh menggelitik untuk melihat kembali urgensitas sebuah analisa yang bertitik pangkal pada tradisi lisan, khususnya bentuk sastra yang dimiliki oleh Orang Manggarai. Di Indonesia pada masa sekarang, tradisi lisan harus bersaing dengan cetakan, radio, televisi dan film. Sementara itu menjadi kenyataan yang umum, pendidikan massal yang dilakukan dalam bahasa Indonesia, bahasa resmi negara, cenderung menekankan yang dominan, kebudayaan “sastra” dengan mengorbankan yang “non sastra”. Meneruskan pengetahuan yang terwujud dalam teks lisan merupakan tantangan bagi kebudayaan Indonesia yang sedang berubah sekarang.
Untuk memberikan jawaban penulis berasumsi bahwa meskipun tradisi tertulis dan budaya audio-visual kian menjamur, namun perkembangan itu belum merata. Masih banyak wilayah yang belum dirambah oleh teknologi canggih seperti itu. Dan yang lebih penting, tradisi lisan adalah bagian dari kehidupan manusia. Ia bahkan merupakan bentuk primer dari komunikasi manusia. Kemajuan, bagaimanapun pesatnya, tak akan menghapus tradisi lisan sebagai bagian dari kebudayaan. Jika kenyataan ini diterima, maka penjelasan yang adekuat tentang relasi antara sastra dan budaya mesti dibuat sehingga analisa apapun yang akan berkembang dalam tulisan ini tidak keluar dari bingkai itu.
Memasuki babak akhir abad yang lalu – apa yang disebut dengan eurosentrisme ilmu sosial – langsung dipandang sebagai bahaya terbesar keberlangsungan – tidak saja ilmu sosial Asia melainkan masyarakat Asia itu sendiri. Kerangka pikir ilmu sosial Asia terjebak dalam kebutuhan ilmuwan sosial Amerika dan Eropa – yang dikenal sebagai pengendali sirkulasi ilmu pengetahuan dan proyek-proyek riset terpenting dalam lapangan ilmu sosial.
            Banyak riset ilmu sosial dilakukan dengan pesan kebutuhan ekonomi kapitalistik negara-negara maju. Temuan-temuan paling mendasar yng berhubungan dengan inti kehidupan masyarakat lokal di Asia menjadi masukan primer untuk merancang teknik pengendalian politik negara-negara pemilik modal pengetahuan dan ekonomi. Kemandirian ilmuwan sosial dipertanyakan hingga pada titik paling mencemaskan – terutama berkaitan dengan nilai-nilai keilmuan-akademik mereka sendiri.
            Hanya segelintir ilmuwan Asia yang mulai menggagas karakter Asia dalam proyek-proyek riset unggulan ilmu sosial. Hal pertama yang dilakukan adalah membangun jarak kritis atas dominasi dan hegemoni keilmuan euro-amerika yang sedemikian kuat menancap kesadaran dan framework diskusi-diskusi ilmuwan dan mahasiswa ilmu sosial Asia. Hal kedua yang segera dibangun adalah menyusun metode dan kerangka kerja ilmu sosial
            Syed Farid Alatas, pengajar sosiologi di Universitas Nasional Singapura, menyebutkan beberapa hal krusial yang berkaitan dengan penyebutan kenyataan eurosentrisme ilmu sosial di Asia. Pertama, ada bias Eurosentrisme sehingga ide, model, pilihan masalah, metodologi, teknik bahkan prioritas riset cenderung hanya berangkat dari karya-karya Amerika, Inggris, Prancis dan Jerman. Kedua, ada pengabaian umum terhadap tradisi filsafat dan sastra lokal. Bahkan keberadaan kebudayaan lokal. Memang ada telaahan yang lebih sistematis terhadap sastra dan tradisi lokal namun keberadaan kebudayaan lokal tidak dipandang dan dipelakukan sebagai sumber konsep ilmu sosial.
            Ketiga, kreativitas yang belum teruji dalam diri ilmuwan sosial Asia untuk mendobrak dominasi metodik ilmu sosial yang dikembangkan di Euro-Amerika lalu diujicoba di sejumlah universitas dan pusat studi Asia. Terasa kekurangan ide-ide orisinal yang menumbuhkan konsep baru, perspektif teoritis baru, pemikiran baru dan inoveasi dalam metode riset.
            Keempat, peniruan (mimesis) ada pada proses pengadopsian yang tidak kritis terhadap model ilmu sosial Barat. Ini diperparah dengan menguatnya diskursus Eropa mengenai masyarakat non-Barat yang cenderung mengarah pada konstruksi esensialis, yang mengonfirmasi bahwa dirinya adalah kebailkan dari Eropa-Amerika: bar-bar, terbelakang, dan irasional.
            Kelima, Ketiadaan sudut pandang minoritas. Anggapan ini berangkat dari kenyataan bahwa dalam berlimpahnya materi yang dikumpulkan para etnografer Asia, tidak ada tradisi untuk mencatat ‘suara-suara’ minoritas bukan hanya  dalam arti minositas etnik, tetapi juga bersentuhan dengan semua kelompok yang tak beruntung dan terpinggirkan. Di level ini, ilmu sosial seolah menyisir pinggir tepian kawah kehancuran – terdominasi perspektif elitik-imperialistik.
            Keenam, persekongkolan dengan negara. Peran dan fungsi yang dimainkan dan dimunculkan disiplin-disiplin ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, geografi pada masa kolonial masih terjadi hingga sekarang ini. Sebagai misal, antropologi dipakai negara untuk memromosikan integrasi, kontrol atas kebijakan negara, dan penciptaan sebuah budaya nasional.
            Keseluruhan persoalan pelik ini memiliki posisi yang sedemikian kuat dalam kerangka imperialisme akademis dan intelektual. Ilmu sosial Asia terbebani peran subordinatif terhadap keberadaan ilmu sosial euro-amerika yang memiliki segala hal yang dibutuhkan untuk menyambung pengaruh mereka ke level yang semakin dahsyat.
            Berangkat dari pengalaman akademik mencekam semacam ini, Alatas dan sejumlah ilmuwan sosial Asia terutama India, Filipina dan Singapura – bergerak menuju titik konsolidasi yang semakin kuat. Hanya keteguhan hati untuk masuk ke dalam ruang gelap sejarah ilmu sosial Asia yang bisa meluputkan masyarakat lokal di kawasan ini memiliki sejarah mereka sendiri. Bukan sejarah yang digambarkan penguasa ilmu sosial dunia Barat yang sudah maju.
            Diskursus alternatif tidak hanya berhenti pada pengajuan metode dan teknik keilmuan yang lain daripada yang sudah danggap sebagai kebenaran baku. Harus ada keberanian akademik menebas batasan-batasan teoritik dan konseptual yang selama ini hanya menghamba pada kerangka keilmuan euro-amerika. Mesti ada  ketabahan intelektual menemukan sumber-sumber konsep yang menyebar di ranah-ranah kebudayaan lokal (setempat). Usaha menyandingkan kedaulatan ilmu sosial ‘Asia’ pada akhirnya membutuhkan dedikasi personal ilmuwan sosial Asia.
Menengok sebentar ke dalam situasi kontemporer kebudayaan lokal, kita dengan cepat menemukan bahwa ketegangan-ketegangan sosial, politik, ekonomi sedang membungkus sirkulasi kehidupan komunitas. Keadaan yang ada begitu menegangkan. Menimbulkan kegalauan emosional di ruang publik (sosial).
            Tanpa kehati-hatian multi-aspek kehidupan sosial maka komunitas lokal akan mengalami keterpecahan yang mencelakakan. Keterhubungan mereka dengan saluran kebijaksanaan lokal yang terkandung dalam sastra, tradisi, kebudayaan lokal sudah lama mengalami kemacetan akibat dominasi konstruksi pengetahuan yang dianggap sebagai kebenaran – padahal melancarkan pengabaian sistematik terhadap elemen-elemen kunci kebudayaan lokal.
            Pada garis kesadaran ini maka yang dibutuhkan bukan saja diskursus alternatif merancang metode ilmu sosial yang menyokong kelokalan melainkan gerakan bersama yang lebih progresif untuk membedah, menganalisis dan meletakkan kehidupan lokal di atas wadah kebijaksanaan sendiri. Ini akan terjadi dalam tindakan kolektif akademik yang hrus segera dirintis. Masyarakat lokal harus berani minum dari mata air kebudayaan mereka sendiri.***
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar